Manusia
terkesan tidak peduli dengan apa yang ada disekitarnya. Berharap berrtanya apa
gerangan kehidupan yang ingin mereka raih. Setajuk dan sejarut benang terputus
takkala mereka berjalan, mendapati diri mereka jatuh jauh terlalu dalam ke
dalam jurang ketidak tahuan dan ketidak pastiaan. Jalan kanan yang mereka ingin
tempuh alih-alih menjadi sarana alasan saat mereka terlalu jauh melangkah
kearah yang berlawaan. Berliku dan penuh kerikil kata mereka. Berharap cahaya cepat
menghampiri mereka, memberikan keyakinan tentang masa depan yang pasti. Aku sendiri
tidak begitu yakin tentang hal itu.
Dunia
tengah dalam krisis, usianya seolah mendekati uzur. Tidak ada satupun yang tahu
kapan waktu itu akan tiba. Tapi sudah jelas, kita bisa melihat dengan sangat
jelas tanda-tandanya. Beribu-ribu manusia hidup dan terus bertambah, sebanyak
itupula mereka menghilang dalam satu ketika. Dunia sudah tidak berada di
samping manusia lagi. Sekian ratus tahun atau bahkan ribuan tahun dunia telah
berusaha hidup dan memberikan semua apa yang bias ia berikan, sekarang hanya
menjadi alat pemuas kebutuhan manusia yang sering mereka sebut sebagai sumber
daya kehidupan. Sungguh ironis. Manusia seolah menjadi buta dan kehilangan
akalnya. Anak-anak cucu-cucu mereka berubah menjadi iblis penuh kebencian. Menaruh
benih-benih kerusakan yang kita tak tahu harus berbuat apalagi. Menyedihkan. Itulah
ironi kehidupan. Tapi, tapi, tapi… masih banyak ribuan dari sekian ribuan juta
orang di dunia ini yang memiliki hati nurani. Yang mampu mendengar jeritan
dunia, jeritan kesakitan dan peringatan yang ia sampaikan. Waktuku tidaklah
lama lagi. Waktumu pun tidak lama lagi seperti halnya diriku.
Kesedihan
dan pilu terus menghantui seluruh isi alam. Bertanya mengapa, kami—manusia makhluk
tercedas di bumi menjadi sangat tidak jauh berbeda dengan binantang. Aku, dan
sebagian orang pun bertanya heran. Mengapa hal tersebut bisa terjadi. Tahun berganti
tahun, generasi berganti generasi, perang demi perang terus berlanjut. Dari kakek-nenek
buyut—buyut kami meneruskan darah peperangan kepada anak-anak cucu-cucu kami
hingga seterusnya tidak ada yang tahu akan berakhir seperti apa.
Sebagian
dari mereka berkata , perang ini kami lakukan demi perdamaian tapi mereka malah
menciptkan kerusakan dan ketidak amanan bahkan bagi kelompoknya sendiri. Perang
ini kami lakukan demi keadilan anak-anak dan wanita tapi mereka membiarkan
anak-anak dan wanita meninggal dalam keadaan mengerikan. Perang ini kami
lakukan demi kesejahteraan masyarakat yang tertindas tapi mereka membiarkan
orang tertidas semakin tertidas dan hilang dari muka bumi ini. Lalu demi apa
mereka lakukan peperangan selain untuk menguasai sebagian dari milik bumi ini. Aneh
bukan? Manusia saling menusuk tusuk dari segala arah demi kenikmataan yang
hanya sesaat. Dimana jauh dihati mereka tahu bahwa dunia ini tidak lama lagi,
tidak akan lama lagi. Seolah mengidahkan pernyataan tulus di hati kecil mereka,
banyak hal baik yang bias dilakukan, mereka tidak perdulikan lagi. Itulah manusia,
kawan.
Apa
yang membuatku sedih adalah bahwa kita lebih memilih ego dan nafsu hanya untuk
memuaskan diri kita sendiri. Terkadang kita beralasan untuk kesenangan. Padahal
berbagipun sama. Di saat bumi ini sudah tidak mampu memberikan optimal seperti
dahulu kala. Kita harus berpikir, kawan. Mencari cara untuk memecahkan masalah
kita terlebih dahulu, disini kawan. Di tempat yang sangat kecil dan sangat
dekat dengan kita. Hati kita yang menjadi setir utama kehidupan di bumi ini. semua
bermula dari perasaan keinginan yang perlahan menjadi menjadi keserakahan. Seandainya
di dunia ini tidak ada ego, seandainya kita mampu mengukur ego setiap manusia
dan mengontrolnya. Pasti manusia mampu hidup berdampingan dengan manusia
lainnya dan dengan bumi ini. sedikit lagi, kawan. Kita mungkin tidak mempunyai
kesempatan jika terus menerus dibiarkan seperti ini.
Disaat
kita merasa aman dan nyaman, jauh atau mungkin dekat dari kita berada ada yang
merasa tidak seperti yang kita rasakan. Kita pasti tahu ada sebagian dari
saudara kita yang sedang berjuang untuk hidup tapi jangan kita lupakan seseorang
yang terus bersama leluhur kita hingga diri kita saat ini, bumi ini kawanku. Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan bumi ini kepada
mahkluk tercedas di muka bumi ini bukan untuk merusak tapi untuk memeliharanya.
Karena ada hari dimana, Tuhan akan mengambilnya dari kita. Mungkin pula Ia akan
bertanya apa yang telah kita lakukan pada titipannya. Menyedihkan bukan jika
saat itu kita tak mampu menjawabnya. Dibandingkan sedih , aku merasa takut. Takut
akan tidak bisa menjawab pertanyan-Nya.
Tidak
perlu menjadi seorang pejabat atau bahkan seorang presiden untuk bisa mengubah
dunia ini menjadia lebih baik. Cukup menjadi dirimu sendiri—menjadi diri kita
pada hakikatnya. Manusia, bersikap selayaknya makhluk yang cerdas. Karena
banyak yang bisa kita lakukan. Menolong bukan berarti kita melakukan perbuatan
anarki untuk menolong yang lain. Ada banyak cara dan jalan untuk menjadi
menolong yang lain. Mereka mungkin akan menjadi bahan ejekan hingga tak akan
ada yang mau membantu kita untuk menolong mereka. Banyak jalan, kawan. Jika menuntut
ilmu hingga ke roma, banyak jalan pula menuju ke roma. Dan tentu saja banyak
cara untuk memperbaiki segalanya menjadi lebih baik dengan cara yang tidak
merusak. Karena semua yang kita lakukan akan berakibat baik-buruk ke bumi kita.
Sayangi bumi ini sebagaimana kita menyanyangi diri kita sendiri. Semua berpacu
dengan waktu.
Post a Comment
Do you mind if you write a little to share ^^